Menjadi Kutu Buku: Seni Membaca Efektif di Era Buru-Buru
Awal tahun ini, saya memutuskan untuk menghitung kembali koleksi buku saya — kebiasaan aneh yang saya lakukan setiap beberapa tahun sekali — dan menyadari bahwa ternyata saya punya sebuah masalah. Masalah yang bagus sih, tapi tetap saja itu masalah. Selama 6 tahun terakhir, ternyata saya sudah mengoleksi lebih dari 200 buku. Dari semua buku itu, sudah cukup banyak buku yang selesai saya baca, tapi lucunya, ada lebih banyak yang belum saya baca. Haha. Bahkan plastiknya saja belum saya buka. Katanya sih, ini memang penyakit yang biasa menjangkit para kutu buku di hidupnya. Gejalanya, yah biasanya dimulai setiap ada diskon di awal atau akhir tahun, para kutu buku ini seringkali kalap dalam membeli beberapa buku baru, padahal masih banyak buku yang bahkan belum sempat mereka buka di lemarinya.
Setiap kali saya menyebut angka itu dalam sebuah percakapan, teman-teman saya biasanya bertanya dengan mata terbelalak, “Wih, udah dibaca semua itu? Aku bahkan gak bisa menyelesaikan satu buku dalam setahun!”
Yah, saya selalu menjawab dengan jujur, seperti yang telah saya jelaskan di paragraf sebelumnya. Apalagi sebenarnya saya orang yang mudah bosan, saya juga bukan pembaca yang cepat (sumpah, kadang saya sudah mengganti buku yang sedang saya baca dengan buku lain sebelum benar-benar menyelesaikannya). Mungkin prosesnya memang begitu, perjalanan orang biasa yang sedang belajar untuk mencintai buku.
Jadi, tulisan acak-acakan ini adalah upaya saya untuk membagikan beberapa trik, yang saya gunakan agar kita bisa meluangkan waktu untuk sekadar membaca di sela-sela kesibukan kita. Mungkin bisa membantu, mungkin juga tidak. Setidaknya bisa jadi catatan dan pengingat untuk diri saya sendiri, kalau-kalau suatu hari nanti saya jadi malas membaca. Hehe.
Menemukan Buku yang Tepat
Dulu saya dan mungkin kawan-kawan semua juga sempat berada di fase bingung harus membaca buku apa. Iya apa iya? Maksudnya, yah memang ada JUTAAN buku di luar sana gitu! Tapi seiring berjalannya waktu, saya menemukan metode yang aneh tapi manjur: kepoin penulis favorit kita.
Maksud saya, kebanyakan penulis pasti punya sosial media atau bahkan blog mereka sendiri bukan? Coba perhatikan tulisan-tulisan atau konten mereka di sosial media. Buku apa yang sedang mereka baca atau sebut-sebut di sana. Di era digital seperti saat ini, profesi penulis tuh udah kayak selebriti — mereka pasti juga punya idola. Kalau kamu suka buku-buku Simon Sinek misalnya “Start With Why”, coba perhatikan siapa yang dia kutip. Malcolm Gladwell? Seth Godin? James Carse? Bingo, itu next reading list-mu.
Metode ini berhasil untuk saya yang tidak ingat kapan tepatnya, tapi beberapa tahun lalu saya menyadari buku “Steal Like an Artist” karya Austin Kleon disebut-sebut di beberapa buku berbeda yang saya baca. Akhirnya saya beli, dan wow — itu mengubah cara saya berpikir. Sama dengan “Atomic Habits” karya James Clear. Saya gak pernah dengar tentang dia sampai namanya muncul di mana-mana.
Kemudian soal rekomendasi teman… Jujur, mungkin ini agak tricky. Ada teman yang merekomendasikan SEMUA buku yang pernah dia baca (bahkan yang dia sendiri bilang “lumayan”), dan ada yang super pelit merekomendasikan kecuali buku itu benar-benar mengubah hidupnya.
Karena itu, saya punya filter sederhana sebelum membeli sebuah buku:
- Kalau lebih dari 3 orang menyebut buku yang sama.
- Kalau seseorang bilang “buku ini mengubah cara saya…” (dan bukan cuma “bagus kok”)
- Kalau orang yang saya tahu baca BANYAK buku bilang “ini buku terbaik tentang…yang pernah saya baca”
Di luar itu? Ya, saya catat judulnya di notes hp tapi mungkin entah sampai kapan saya ingat untuk membukanya lagi. 😂
Oh, dan soal milih buku di toko buku. Ini guilty pleasure saya. Kadang-kadang saya pergi ke toko buku tanpa niat beli apa-apa, cuma pengen ngecek-ngecek sampul yang rasanya menarik menurut saya. Saya biasanya baca blurp di halaman belakang, dan kalau gak bikin saya penasaran… yasudah, next! Hidup terlalu singkat untuk buku yang gak bikin kita excited dari kalimat pertama, kan?
“Aku Gak Punya Waktu Buat Baca” (Bohong Banget)
Ini mitos terbesar di dunia yang harus segera dipatahkan. Kamu punya waktu. Kita semua punya waktu. Cuma masalah prioritas aja. Apakah hal itu terasa penting dan berarti menurut kita atau tidak?
Soalnya, coba pikir berapa jam dalam seminggu yang kita habiskan buat scrolling IG, TikTok atau sekadar menonton ulang episode series atau anime favorit kita untuk yang ke-5 kalinya? (Kita semua pasti melewatinya, saya jadi inget masa-masa saya kecanduan scrolling Twitter/X dari jam 1 pagi).
Saya bukan pembaca yang cepat — sumpah, kadang satu halaman saja bisa 5 menit kalau materinya berat, atau mungkin malah ngantuk duluan sebelum selesai baca satu lembar. haha. Intinya, saya cuma mengatur waktu:
- Target yang jelas — Dulu saya pasang target 12 buku setahun, terus naik jadi 15 buku. Tahun lalu saya cuma baca 7, saya gagal mencapai target, tapi ya it’s still a win, kan? Hehe. Ada juga teman saya yang loncat kegirangan karena finally bisa menamatkan 2 buku dalam setahun (dari biasanya 0), target kita beda-beda dan itu gak masalah.
- Punya jadwal me-time yang sakral — Ini penting banget! Buat saya, akhir pekan itu adalah waktu membaca. Bahkan kadang ketika ada kawan mengajak saya nongkrong di akhir pekan, saya yang harus menentukan waktunya. Karena di pagi atau siang hari, saya akan lebih suka menyendiri di cafe, perpustakaan, atau di rumah untuk sekedar membaca buku. Kadang cuma sejam dua jam, kadang bisa sampai malam. Temukan slot waktu yang works buat kita. Pro tips: matikan notifikasi atau pilih mode pesawat. Seriously. Matikan TV. HP. Semuanya. Tapi kadang saya juga masih suka gagal di bagian ini.
- Baca beberapa buku sekaligus — Ini mungkin aneh, tapi works buat saya. Saya selalu baca 2–3 buku parallel. Satu fiksi untuk fun, satu bisnis/pengembangan diri, satu spiritualitas, dan kadang satu random. Kenapa? Karena mood kita berubah-ubah! Hari Senin, setelah meeting seharian yang melelahkan, mana mau otak saya dipaksa buat baca buku filsafat atau investasi? Tapi novel ringan? Bisa. Baru ketika akhir pekan dan sudah lebih fresh, buku yang lebih challenging bisa saya coba. Analoginya seperti punya beberapa jenis snack sehat di rumah — kalau cuma ada jeruk di rumah tapi lagi pengen yang gurih, kita bisa pesen singkong goreng/rebus di go-food. Tapi gimana kalau ada jeruk, singkong goreng/rebus, kripik? Masih ada opsi sehat lainnya? Oiya, jangan lupa secangkir kopinya juga harus ready.
- Abaikan peer pressure — Ini susah banget. Ketika semua orang di ruangan lagi sibuk scroll hp, dan kamu keluarin buku… mungkin awkward banget! Tapi saya udah sampai di tahap “whatever” sekarang. Malah beberapa kali jadi conversation starter, “Eh, lagi baca apa tuh?” — dan percakapan berlanjut.
- Bangun perpustakaanmu sendiri — Saya belajar istilah “anti-perpustakaan” dari Nassim Taleb — itu konsep memiliki banyak koleksi buku namun BELUM kita baca. Kedengarannya kayak pemborosan ya? Tapi tunggu dulu, ada psychological effect yang powerful: setiap kali lihat tumpukan buku yang belum kita baca, ada dorongan yang bikin kita harus membaca setidaknya satu buku baru ditumpukan itu dan mungkin batasi dulu deh nonton Netflix.
- Bawa buku ke mana saja — Ke dokter gigi? Bawa buku. Naik kereta? Bawa buku. Nungguin ibu belanja? Bawa buku. Lagi servis motor/mobil? Definitely bawa buku (dan mungkin 1–2 buku sekalian, antrian servis itu lama pol). Tapi mungkin jadi tak terasa lama karena kita baca buku.
Saya masih ingat pernah terjebak 5 jam di bandara karena delay. Orang-orang frustasi, ngomel-ngomel, sementara saya hampir menyelesaikan sebuah buku “The Psychology of Money” karya Morgan Housel! Best delay ever. 😎
Beli Buku = Bangkrut? Gak Juga!
“Wah, pasti habis banyak ya buat beli buku?”
Pertanyaan ini sering saya dapat, dan saya selalu tertawa. Karena honestly, hobi membaca itu salah satu hobi termurah yang ada di dunia. What?!
Perpustakaan? GRATIS. (Tapi sayangnya rumah saya jauh dari perpustakaan, apalagi kalau lagi pulang kampung)
Toko buku bekas? Most of my books came from preloved dan sejenisnya. Apalagi saya tinggal di Yogyakarta. Menurut saya, kota ini adalah salah satu surganya buku bekas. Percaya atau tidak, harga dari satu buku bisa jadi cuma belasan hingga puluhan ribu saja per bukunya. Edan bukan? Edan pol! Daerah Bantul, Kotagede, Terban, Shopping Center di Komplek Taman Pintar, dan lain sebagainya adalah tempat terbaik untuk berburu buku bekas, coba cari saja di google pasti keluar kok.
Kalau dipikir-pikir, beli kopi di coffee shop 3-4 kali seminggu (120.000) vs. beli 3–4 buku bekas (150.000). Mana yang lebih worth it? (Meskipun saya tetap beli kopi juga sih). Nobody’s perfect. Haha.
Masalah Saya: Baca Buku vs. Ingat Isinya
Untung saja, dari dulu saya gak suka pamer terkait progres baca buku saya ke kawan-kawan, “Misalnya tahun ini udah baca berapa buku dan sebagainya!” Karena kadang, saya juga agak lupa isinya kalau gak saya baca ulang sekilas. Daripada nge-blank ketika ditanya mending diem aja kan. Haha.
Dari situ saya juga mulai sadar: baca banyak buku gak ada artinya kalau gak ingat isinya. So here’s what works for me:
- Buku fisik > e-book — Ini mungkin kontroversi di era digital, tapi saya punya pengalaman pribadi yang bikin saya yakin. Dulu saya sempat kalap beli beberapa buku di google play book. Saya ingat baca beberapa buku disitu, misalnya seperti “Kami (Bukan) Sarjana Kertas” karya J.S. Khairen. Tapi beberapa minggu kemudian, ketika kawan bertanya “Gimana endingnya?” Saya… Lupa, iya lupa. Bukan cuma detail kecil, tapi setelah saya ingat-ingat lagi, kayaknya saya memang belum menamatkan buku ini! Setelah sempat googling, ternyata ada beberapa studi yang suggest physical books = better retention.
- Ngobrol tentang buku itu — “If you can’t explain it simply, you don’t understand it well enough.” Einstein got it right. Setiap kali baca buku bagus, saya mencoba memaksa diri untuk bicara tentang itu di depan cermin, ketika mengendarai motor, dengan teman, atau siapa pun yang mau dengar. Pertama kali biasanya berantakan, kedua kali better, ketiga kali kalian akan lebih memahami isinya. Belajar terbaik adalah dengan mengajar. Oleh karena itu, kadang saya sering menyelipkan tentang beberapa buku yang relate, ketika saya berkesempatan memberikan kuliah umum di beberapa universitas. (praktisi mengajar)
- Tidak meminjam buku teman — Ketika masih kuliah dan uang saku saya bahkan tidak cukup untuk membeli sebuah buku. Saya sempat meminjam buku teman. Tapi setelah itu, saya mencoba untuk tidak pernah meminjam buku lagi dari teman. Why? Karena saya gak bisa mencoret-coret isinya. Haha. Kadang ketika saya menemukan sebuah quote penting dan menarik, saya seringkali gatal untuk segera melingkarinya atau sekadar menulisnya kembali di catatan. Jika buku itu bukan punya kita, akan terlalu tidak sopan jika kita mencoret-coretnya isinya. Iya kan?
Bicara soal mencoret-coret buku, saya punya sistem sendiri yang saya sebut SUSI:
Sistem SUSI (Stabilo, Underline, Sticky note, Insight)
STABILO — Saya akan kasih highlighter di bagian-bagian penting. Kalau super penting, saya akan mencoret-coretnya dengan stabilo warna-warni agar lebih terlihat. Simple tapi efektif untuk quick reference.
UNDERLINE — Jika sedang tidak ada stabilo, saya akan menggarisbawahi kalimat-kalimat kunci yang saya temukan. Saya selalu bertanya kepada diri saya sendiri: “Kalau besok saya baca buku ini lagi dan cuma punya 30 detik per halaman, kalimat mana yang harus saya baca?” That’s what gets underlined.
Kadang saya juga tulis definisi istilah-istilah baru yang saya gak tahu artinya di bagian bawah.
STICKY NOTE— Sticky note adalah salah satu barang yang mungkin sepele tapi cukup powerful. Jika saya punya stock, saya akan menggunakan sticky note ini untuk menandai beberapa halaman buku yang saya rasa penting, membuat catatan singkat, atau sekadar saya pakai sebagai pengingat beberapa hal penting dalam sebuah bab.
INSIGHT — Ini tak kalah penting. Saya kadang menggunakan bagian depan atau belakang buku sebagai outlook tentang isi buku:
- Pojok kiri atas: halaman dengan quotes terbaik.
- Tengah: list main takeaways dengan nomor halaman.
- Pojok kiri bawah: tanggal selesai baca.
- Pojok kanan atas: rekomendasi buku lain dari si penulis.
- Untuk biografi: daftar trait/habits dari subjek biografi.
Untuk fiksi, saya kadang buat juga list karakter dengan deskripsi singkat karena saya pelupa.
Jangan Lupa Pamer (eh, Track Reading Progress)
Terakhir, mulai catat buku-buku yang sudah kita baca. Bisa pakai Goodreads, spreadsheet Excel, bullet journal, artikel di blog atau apapun.
Saya sudah track reading list selama beberapa tahun belakangan, mulai dari notes kertas sampe akhirnya saya tulis di blog. It’s super satisfying.
Sebenarnya saya ingin lebih aktif di Goodreads, tapi rasa malas saya ternyata lebih besar. Padahal Goodreads punya Reading Challenge tahunan yang bisa bikin kita kecanduan. Setiap kali update progress bar-nya akan naik, semacam ada dopamine hit yang gak bisa dijelaskan.
Yang paling penting, tracking ini jadi reminder visual tentang perjalanan literasi kita. Kadang saya scroll list buku dari 2–3 tahun lalu dan mikir “wah bacaan saya kok jadi filsafat semua tahun itu” atau “Loh, sepertinya saya mulai kecanduan web novel dan manhwa ini (Solo Leveling) ”. Kita bisa melihat evolusi diri sendiri lewat buku yang kita baca itu.
Bahkan ketika saya update stories atau media sosial tentang buku yang sedang saya baca, mulai banyak kawan-kawan yang ikut penasaran dan gak sungkan buat tanya di DM, “Wah, buku baru lagi Mas Eka, tentang apa itu?” dan sebagainya. Menariknya, beberapa dari mereka yang katanya dulu gak suka baca jadi ikutan baca. Bukan karena saya racunin ya, tapi katanya emang penasaran aja setelah mendengar cerita saya. 😂
It’s Not About The Number
Kadang saya suka terjebak dalam “numbers game” — kejar target, kejar kuantitas dan sebagainya. Padahal kualitas itu lebih penting. Kalau dipikir-pikir, baca 1 buku yang benar-benar mengubah hidup jauh lebih baik daripada baca 100 buku yang sekadar masuk telinga kanan terus keluar lewat telinga kiri.
Tahun lalu saya bereksperimen — membaca satu atau dua buku saja tapi yang benar-benar saya butuhkan. Hasilnya? Saya ingat jauh lebih banyak dari banyak buku yang telah saya baca sebelumnya, dan bahkan saya bisa menerapkan lebih banyak dari yang saya pelajari.
Oiya, dan satu lagi: jangan ragu buat ninggalin buku yang emang gak masuk buat kita. Dulu saya pernah merasa bersalah kalau gak menyelesaikan buku yang saya baca. Tapi sekarang, misalnya sudah baca kurang lebih 40–50 halaman dan saya merasa buku ini kurang cocok buat saya? I’m out. Life is too short to read books you don’t enjoy.
Anyway, hopefully sharing ini bermanfaat buat kawan-kawn semua. Dan kalau ada yang nanya “buku apa yang harus saya baca kalau baru mulai?”, jawabannya selalu sama: “What are you curious about right now?”
Mulai dari situ saja, dan let the rabbit hole takes you wherever it wants. Trust me, it’s gonna be a wild ride.
So… happy reading!
Ilmu pengetahuan itu bisa diperoleh dari manapun, namun yang terpenting ialah menyelaraskan ilmu pengetahuan yang kita peroleh dengan sebuah tindakan.
Baca juga :
