Tantangan Etis AI dalam Perubahan Iklim: Solusi atau Kontributor terhadap Krisis?
Beberapa bulan belakangan, hampir setiap aktivitas dan pekerjaan saya tak pernah lepas dari bantuan Artificial intelligence (AI), khususnya ‘ChatGPT’. Tebersit dalam pikiran saya, bagaimana ya jika tahun 2050 populasi dunia benar-benar mencapai sembilan miliar jiwa seperti prediksi para cerdik cendekia, lalu AI juga sudah menjadi bagian dari keseharian mereka, kira-kira berapa banyak energi yang dibutuhkan AI?
Saya tanyakan pada sahabat baru saya, ‘ChatGPT’. Dan berikut adalah jawabannya:
Penggunaan energi oleh AI sangat bervariasi, terutama tergantung pada tahap pelatihan dan inferensi model. Pelatihan model besar seperti GPT membutuhkan daya komputasi yang luar biasa, dengan konsumsi energi mencapai ratusan ribu kilowatt-jam (kWh), setara dengan penggunaan energi rumah tangga selama puluhan tahun. Proses pelatihan ini berlangsung di pusat data yang menggunakan ribuan unit GPU atau TPU, menghasilkan jejak karbon yang cukup signifikan. Meskipun inferensi lebih efisien, jika diterapkan pada skala besar, dampaknya tetap terasa. Pada tahun 2050, dengan populasi diprediksi mencapai 9 miliar jiwa, jika semua orang menggunakan AI untuk kehidupan sehari-hari, kebutuhan energi bisa mencapai sekitar 328,5 terawatt-jam (TWh) per tahun — sekitar 1–2% dari konsumsi energi global saat ini. Namun, prediksi ini sangat bergantung pada kemajuan teknologi di masa depan, seperti efisiensi perangkat keras, optimalisasi algoritma, dan penggunaan energi terbarukan, yang dapat secara signifikan mengurangi jejak karbon AI.
AI sering dipuji sebagai teknologi penyelamat umat manusia dalam menghadapi perubahan iklim. Dengan kemampuannya memproses data dalam jumlah besar, memprediksi pola cuaca ekstrem, hingga membantu transisi ke energi terbarukan, AI jelas menawarkan solusi yang belum pernah kita lihat sebelumnya. Namun, di balik semua manfaat tersebut, tersimpan paradoks yang mengundang pertanyaan penting:
Apakah AI benar-benar solusi? Atau, justru memperparah masalah?
Di Balik Layar: Konsumsi Energi AI yang Membengkak
Kita hidup di era di mana data adalah “minyak baru” — dan AI adalah mesin raksasa yang mengekstraknya. Pelatihan model-model AI besar seperti GPT-2 hingga GPT-4 membutuhkan daya komputasi yang sangat besar. Penelitian dari MIT mengungkapkan bahwa melatih model AI besar dapat menghasilkan emisi karbon yang setara dengan penggunaan lima mobil selama seumur hidup.
Ini bukan sekadar angka statistik. Jika dilihat lebih dekat, tren AI ini membawa konsekuensi yang tidak bisa diabaikan. Kita berbicara tentang puluhan hingga ratusan ribu kilogram CO₂ yang dihasilkan hanya untuk membuat model AI cerdas. Ironisnya, teknologi yang kita harapkan dapat menyelamatkan lingkungan justru menimbulkan beban yang besar bagi planet ini.
Mari kita bicara tentang jejak karbon. Satu studi lain yang cukup terkenal menunjukkan bahwa pelatihan satu model AI besar bisa mengeluarkan emisi setara dengan penerbangan pulang-pergi antara New York dan Beijing sebanyak 125 kali. Ini membuat kita bertanya-tanya, bagaimana AI yang berambisi membantu kita menghadapi perubahan iklim bisa diterima secara etis, jika jejak lingkungannya sendiri begitu besar?
Infrastruktur AI: Pusat Data dan Dilema Konsumsi Energi
Pusat data yang menopang AI merupakan bagian krusial dari masalah ini. Sektor pusat data saat ini menyumbang sekitar 1% dari total konsumsi energi dunia, dan angka ini diprediksi akan meningkat seiring dengan semakin berkembangnya AI. Saat kita beralih menuju ekonomi digital berbasis data, tantangan etis yang muncul adalah ketergantungan pada infrastruktur yang haus energi ini.
Negara-negara maju yang menjadi tuan rumah bagi sebagian besar pusat data global justru menikmati manfaat teknologi ini lebih besar, sementara negara berkembang seringkali menjadi pihak yang terpinggirkan. Ketimpangan ini memicu pertanyaan etis lain: apakah teknologi ini benar-benar inklusif, atau hanya memperdalam kesenjangan ekonomi dan sosial yang sudah ada?
Solusi Hijau untuk AI: Menjaga Jejak Karbon Tetap Rendah
Namun, tidak semua kabar buruk. Ada gerakan yang berkembang menuju “green AI,” sebuah konsep yang menekankan pada pengurangan konsumsi energi selama pelatihan model AI. Google, salah satu pemain besar dalam bidang AI, telah mulai mengadopsi sistem pembelajaran yang lebih efisien secara energi. Selain itu, mereka juga beralih ke pusat data yang ditenagai energi terbarukan.
Langkah ini, meskipun masih terbatas, menunjukkan bahwa ada jalan keluar. Dengan terus mengembangkan teknologi yang lebih hemat energi dan lebih cerdas dalam mengelola sumber daya, AI dapat tetap menjadi solusi yang ramah lingkungan. Selain itu, ada upaya yang lebih besar untuk memanfaatkan AI dalam optimisasi jaringan energi terbarukan. Teknologi AI membantu menyeimbangkan pasokan dan permintaan energi dari sumber yang fluktuatif seperti angin dan matahari, sehingga mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.
AI dan Perubahan Iklim: Paradoks atau Peluang?
Kita berada di persimpangan. AI jelas memiliki potensi besar untuk membantu kita memitigasi dampak perubahan iklim. Namun, penggunaan teknologi ini tidak lepas dari pertanyaan etis tentang dampak lingkungan yang dihasilkannya sendiri. Jika tidak dikelola dengan baik, AI bisa menjadi bagian dari masalah yang justru ingin dipecahkannya.
Penting untuk memahami bahwa AI bukanlah peluru perak yang bisa menyelesaikan segala sesuatu. Seperti teknologi lainnya, AI membutuhkan perhatian pada aspek dampak lingkungannya. Mungkin, solusinya terletak pada pengembangan model AI yang lebih efisien dan penggunaan energi terbarukan untuk mengurangi jejak karbon dari teknologi ini.
Kesimpulan: AI untuk Kebaikan atau Kerusakan?
Pada akhirnya, tantangan etis AI dalam konteks perubahan iklim sangat kompleks. Di satu sisi, teknologi ini menawarkan solusi konkret untuk masalah yang mendesak, seperti optimisasi energi terbarukan, prediksi cuaca ekstrem, dan adaptasi pertanian. Namun, konsumsi energi yang tinggi untuk melatih model AI besar tetap menjadi batu sandungan yang tidak bisa diabaikan.
Masa depan AI dalam perubahan iklim tergantung pada seberapa cepat kita bisa mengatasi paradoks ini. Pengembangan teknologi yang lebih hijau, pengelolaan infrastruktur yang efisien, serta pemanfaatan energi terbarukan adalah kunci untuk memastikan AI benar-benar bisa menjadi solusi — bukan bagian dari masalah.
Sebagai penutup, inilah tantangan kita: bagaimana memanfaatkan kecerdasan buatan untuk membangun masa depan yang lebih hijau, tanpa mengorbankan planet yang ingin kita selamatkan. Bagikan pemikiran kawan-kawan di kolom komentar dan mari berdiskusi untuk menemukan solusi bersama!
Saya harap kawan-kawan mendapatkan manfaat dari artikel ini. Ilmu pengetahuan itu bisa diperoleh dari manapun, namun yang terpenting ialah menyelaraskan ilmu pengetahuan yang kita peroleh dengan sebuah tindakan.
Disclaimer:
Renungan ini tentu saja hanya pandangan pribadi semata. Dan saya berharap bisa menjadi bahan renungan kita bersama. Tidak ada niat hati untuk menyalahkan, menyudutkan atau menyebarkan kebencian pada pihak mana pun. Maka dari itu saya meminta maaf yang sebesar-besarnya apabila dalam tulisan saya ada salah kata, kekurangan dan mungkin kalimat yang dapat menyinggung. Hal tersebut murni karena keterbataan saya sebagai manusia.
Thanks.
Baca juga :
Referensi:
- Strubell, E., Ganesh, A., & McCallum, A. (2019). Energy and Policy Considerations for Deep Learning in NLP. Massachusetts Institute of Technology.
- Patterson, D., et al. (2021). Carbon Emissions and Large Neural Network Training. Google Research.
- Bender, E. M., et al. (2021). On the Dangers of Stochastic Parrots: Can Language Models Be Too Big?
- Shehabi, A., et al. (2016). United States Data Center Energy Usage Report. Lawrence Berkeley National Laboratory.
- Google AI Blog. (2020). Our Commitment to Building a Carbon-Free AI Future.
- Amodei, D., & Hernandez, D. (2018). AI and Compute. OpenAI Blog.
- Schwartz, R., et al. (2020). Green AI.
- Siemens. (2020). AI for Renewable Energy Optimization.
- WEF. (2020). How AI Can Revolutionize Agriculture and Help Solve Climate Crisis.
Tidak ada komentar: